Rabu, 16 Januari 2013

Al Mansur

BAB I
PENDAHULUAN
Sejarah tak ubahnya kacamata masa lalu yang menjadi pijakan dan langkah setiap insan di masa mendatang. Hal ini berlaku pula bagi kita para mahasiswa IAIN Walisongo untuk tidak hanya sekedar paham Sains tapi juga paham akan Sejarah Peradaban Islam di masa lalu untuk menganalisa dan mengambil ibrah dari setiap peristiwa yang pernah terjadi. 

Seperti yang kita ketahui setelah tumbangnya kepemimpinan masa Khulafaurrasyidin maka berganti pula sistem pemerintahan Islam pada masa itu menjadi masa daulah, dan dalam makalah ini akan disajikan sedikit tentang masa daulah Abbasiyah pada masa Khalifah Al Mansur. Masa pemerintahan Abu Al –Abbas, pendiri dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun 750 M sampai 754 M. Karena itu pembina sebenarnya dari daulat Abbasiah adalah Abu Ja’far Al Mansur ( 754 M – 775 M ). Dia dengan keras menghadapi lawan-lawannya dari Bani Umayyah, Khawarij, dan juga Syi’ah yang merasa dikucilkan dari kekuasaan. 

Untuk mengamankan kekuasaannya, tokoh-tokoh besar yang mungkin menjadi saingan baginya satu per satu disingkirkannya. Abdullah bin Ali dan Shalih bin Ali, keduanya adalah pamannya sendiri yang ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah sebelumnya di Syria dan Mesir, karena tidak bersedia membaiatnya, dibunuh oleh Abu Muslim Al-Khurasani atas perintah Abu Ja’far. Abu Muslim sendiri karena dikhawatirkan akan menjadi pesaing baginya, dihukum mati pada tahun 755 M. Demikianlah sedikit gambaran mengenai isi makalah ini yang penulis buat. Semoga saja ada manfaatnya bagi kita semua. Kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi perbaikan makalah ini.

BAB II
PEMBAHASAN
Dengan tumbangnya Daulah Bani Umayyah maka keberadaan Daulah Bani Abbasiyah mendapatkan tempat penerangan dalam masa kekhalifahan Islam saat itu, di mana Daulah Abbasiyah ini sebelumnya telah menyusun dan menata kekuatan yang begitu rapi dan terencana. Dan dalam makalah ini akan diurakan sedikit mengenai berdirinya masa kekhalifahan Abbasiyah, sampai pada masa kekhalifahan Al Mansur.

A. Kelahiran Daulah Abbasiyah
Khalifah Abbasiyah yang pertama adalah Abu Abbas, dialah yang diberi kepercayaan kepada pamannya Abdullah dalam perang melawan Marwan II, khalifah terakhir Bani Umayyah. Hingga akhir khalifah Abbas memberi kepercayaan kepada Salih bin Ali untuk membunuh Marwan, yang kemudian kepala Marwan dikirim ke khalifah Abbas. Saffah kemudian dipindah ke Anbar, dia menggunakan sebagian besar dari masa pemerintahannya untuk memerangi pemimpin-pemimpin Arab yang membantu Umayyah. Dia mengusir mereka kecuali Abdurrahman yang tidak berapa lama kemudian mendirikan dinasti Umayyah di Spanyol. Saffah juga memutuskan untuk menghabisi nyawa beberapa orang pembantu bani Umayyah. Ia membunuh Abu Salama, dikenal sebagai menteri (Wadi’) dari keluarga Nabi Muhammad, seperti halnya dia membunuh Abu Hubayra, salah satu dari pemimpin bani Umayyah zaman Marwan II setelah memberi kebebasan kepadanya.

Kekhalifahan Saffah bertahan selama 4 tahun sembilan bulan. Dia wafat pada tahun 136 H di Anbar, satu kota yang telah dijadikan sebagai tempat kedudukan pemerintahannya. Khalifah Abbasiyah kedua mengambil gelar Al-Mansur dan meletakkan dasar-dasar pemerintahan Abbasiyah. Di bawah Abbasiyah, kekhalifahan berkembang sebagai system politik. Dinasti ini muncul dengan bantuan orang-orang Persia yang merasa bosan terhadap bani Umayyah di dalam masalah sosial dan politik diskriminas.

Khalifah-khalifah Abbasiyah yang memakai gelar”Imam” pemimpin masyarakat muslim untuk menekankan arti keagamaan kekhalifahan. Abbasiyah mencontoh tradisi Umayyah di dalam mengumumkan lebih dari satu putra mahkota raja. Al Mansur dianggap sebagai pendiri kedua dari Dinasti Abbasiyah. Di masa pemerintahannya, Baghdad dibangun menjadi ibu kota Dinasti Abbasiyah dan merupakan pusat perdagangan serta kebudayaan. Hingga Baghdad dianggap sebagai kota terpenting di dunia pada saat itu yang kaya akan ilmu pengetahuan dan kesenian. Hingga beberapa dekade kemudian dinasti Abbasiyah mencapai masa kejayaan.

 B. Kejayaan Daulah Abbasiyah
Pada mulanya ibu kota negara adalah Al Hasymiyah, dekat Kufah. Namun untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, Al Mansur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya, Baghdad, dekat bekas ibu kota Persia, Cteshiphon, tahun 762 M. Dengan demikian pusat pemerintahan dinasti Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia.

Di ibu kota yang baru ini Al Mansur melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahan. Dia mengangkat sejumlah personal untuk menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif. Di bidang pemerintahan, dia menciptakan tradisi baru dengan Wazir sebagai koordinator departemen, Wazir pertama yang diangkat adalah Khalid bin Barmak, berasal dari Balk, Persia. Dia juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara di samping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad ibn Abd Al Rahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa dinasti Bani Umayyah ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekedar mengantar surat, pada masa Al Mansur, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah- daerah, sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan dengan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat pada khalifah.

Khalifah Al Mansur berusaha menaklukkan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintahan pusat, dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Di antara usaha-usaha tersebut adalah merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia, dan Cicilia pada tahun 756-758 M. Ke utara bala tentaranya melintasi pegunungan Taurus dan mendekati selat Bosporus. Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantine V dan selama genjatan senjata 758-765 M, Bizantium membayar upeti tahunan. Bala tentaranya juga berhadapan dengan pasukan Turki Khazar Kaukasus, Daylami di laut Kaspia, Turki di bagian lain Oskus dan India. Pada masa Al Mansur, pengertian khalifah kembali berubah. Dia berkata, “Innama ana Sulthan Allah fi ardhihi ( sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di bumi-Nya )”. Dengan demikian konsep khilafah dalam pandangannya dan berlanjut ke generasi sesudahnya yang merupakan mandat dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekedar pelanjut nabi sebagaimana pada masa al Khulafa al Rasyadun. Di samping itu berbeda dari daulat Umayyah, khalifah Abbasiyah memakai “gelar tahta” Abu Jafar. “Gelar tahta “ itu lebih populer daripada nama sebenarnya.

C. Pusat-pusat Peradaban Islam
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa kota Baghdad didirikan oleh Khalifah Abbasiyah kedua, Al Mansur pada tahun 762 M. Setelah mencari-cari daerah yang strategis untuk ibu kotanya, pilihan jatuh pada daerah yang sekarang dinamakan Baghdad, terletak di pinggir Sungai Tigris. Al Mansur sangat cermat dan teliti dalam memilih lokasi yang akan dijadikan ibu kota. Ia menugaskan beberapa orang ahli untuk meneliti dan mempelajari lokasi. Bahkan ada beberapa orang di antara mereka yang diperintahkan untuk tinggal beberapa hari di tempat itu pada setiap musim yang berbeda. Kemudian para ahli itu melaporkan keadaan udara, tanah, dan lingkungan.

Setelah penelitian seksama, barulah daerah itu ditetapkan sebagai ibu kota negara dan pembangunan pun di mulai. Menurut cerita rakyat, daerah ini sebelumnya adalah tempat peristirahatan Kisra Anusyirwan, raja Persia yang masyhur. Baghdad berarti “taman keadilan” . Taman itu lenyap bersama hancurnya kerajaan Persia. Akan tetapi nama itu tetap menjadi kenangan rakyat. Dalam membangun kota ini, khalifah mempekerjakan ahli bangunan yang terdiri dari arsitektur-arsitektur, tukang batu, tukang kayu, ahli lukis,ahli pahat, dan lain-lain. Mereka didatangkan dari Syria, Mosul, Basrah, dan Kufah yang berjumlah sekitar 100.000 orang. Kota ini berbentuk bundar. Di sekelilingnya dibangun dinding tembok yang besar dan tinggi. Di sebelah luar dinding tembok, digali parit besar yang berfungsi sebagai saluran air sekaligus benteng.

Ada empat buah pintu gerbang di seputar kota ini, disediakan untuk setiap orang yang ingin memasuki kota. Keempat pintu gerbang itu adalah Bab al Kufah, terletak di sebelah barat daya, Bab al Syam, terletak di barat laut, Bab al Bashrah, di tenggara, dan Bab al Khurasan, di timur laut. Di antara masing-masing pintu gerbang ini, dibangun 28 menara sebagai tempat pengawal negara yang bertugas mengawasi keadaan di luar. Di atas setiap pintu gerbang dibangun suatu tempat peristirahatan yang dihiasi dengan ukiran-ukiran yang indah dan menyenangkan. Di tengah-tengah kota terletak istana khalifah menurut seni arsitektur Persia. Istana ini dikenal dengan al Qashr al Zahabi, berarti istana emas. Istana ini dilengkapi dengan bangunan masjid, tempat pengawal istana, polisi, dan tempat tinggal putra-putri dan keluarga khalifah.

Di sekitar istana dibangun pasar tempat perbelanjaan. Jalan raya menghubungkan empat pintu gerbang. Sejak awal berdirinya, kota ini sudah menjadi pusat peradaban dan kebangkitan ilmu pengetahuan dalam Islam. Itulah sebabnya, Philip K. Hitti menyebutnya sebagai kota intelektual. Menurutnya, di antara kota-kota di dunia, Baghdad merupakan profesor masyarakat Islam. Dalam bidang ekonomi, perkembangannya berjalan seiring dengan perkembangan politik.

Usaha keras Al-Mansur dilanjutkan oleh khalifah berikutnya yaitu oleh Al-Rasyid dan Al-Ma’mun, perdagangan dan industri berkembang pesat. Ekonomi kota ini didukung oleh tiga pelabuhan yang ramai dikunjungi pedagang internasional ( Cina, India, Asia tengah, Syria, Mesir, dan negara Afrika lainnya ), dua di Bashrah dan Sirat di Teluk Persia. Pengaruh dan kebudayaan bangsa yang sudah maju tersebut, terutama melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan di bidang umum, tetapi juga ilmu pengetahuan agama.

Dalam bidang tafsir, sejak awal sudah dikenal dua metode, penafsiran pertama, tafsir bi al-ma’tsur, yaitu interpretasi tradisional dengan mengambil interpretasi dari nabi dan para sahabat. Kedua, tafsir bi al-ra’yi, yaitu metode rasional yang banyak bertumpu kepada pendapat dan pemikiran daripada hadis dan pendapat sahabat. Kedua metode ini memang berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi jelas sekali bahwa tafsir metode bi al-ra’yi (tafsir rasional), sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan. Hal yang sama juga terlihat dalam ilmu fiqih dan terutama dalam ilmu teologi. Perkembangan logika di kalangan umat Islam sangat mempengaruhi perkembangan dua bidang ilmu tersebut Al Mansur memerintahkan penerjemah buku-buku ilmiah dan kesusasteraan dari bahasa asing : India, Yunani lama, Bizantium, Persia, dan Syria. Para peminat ilmu dan kesusasteraan segera berbondong-bondong datang ke kota itu. Setelah masa Al Mansur, kota Baghdad menjadi lebih masyhur lagi karena perannya sebagai pusat perkembangan dan peradaban Islam.

Banyak pula para ilmuwan dari berbagai daerah datang ke kota ini untuk mendalami ilmu pengetahuan yang ingin dituntutnya. Imam-imam mazhab hukum yang empat hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah pertama. Imam Abu Hanifah ( 700 – 767 M ) dalam pendapat-pendapat hukumnya oleh perekembangan yang terjadi di Kufah, kota yang berada di tengah-tengah kebudayaan Persia yang hidup kemasyarakatannya telah mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi. Karena itu mazhab ini lebih banyak menggunakan pemikiran rasional daripada hadis. Berbeda dengan Abu Hanifah, Imam Malik ( 713 – 795 M ) banyak menggunakan hadis dan tradisi masyarakat Madinah. Pendapat dua mazhab hukum itu ditengahi oleh Imam Syafi’i ( 767 – 820 M ) dan Imam Ahmad Ibn Hanbal ( 780 – 855 M ).

Di samping empat pendiri mazhab besar tersebut, pada masa pemerintahan Bani Abbas banyak mujtahid mutlak lain yang mengeluarkan pendapatnya secara bebas dan mendirikan mazhabnya pula. Akan tetapi, karena pengikutnya tidak berkembang, pemikiran mazhab itu hilang bersama berlalunya zaman. Banyak orang suci yang dikebumikan di dalam batas dan sekitar tembok kota dan makamnya menjadi pusat ziarah bagi orang Muslim, menyebabkan kota Baghdad mendapat julukan Benteng Kesucian. Di sinilah istirahat Imam Musa Al-Khazhim ( Imam ketujuh Syiah ). Di sini pula dimakamkan Abu Hanifah ( pendiri mazhab Hanafi ), Syaikh Junaid, Syibli, dan Abdul Kadir Jailani ( semuanya pemimpin-pemimpin kaum sufi ).

Sebagai ibu kota kerajaan, tentu banyak pula yang dikebumikan di sini para khalifah dan permaisurinya. Kota yang terletak di tepi barat sungai Tigris itu muncul sebagai kota terindah dan termegah di dunia waktu itu. Pada masa kegemilangannya, sebelum dihancurkan oleh tentara Mongol, kota itu memperlihatkan pemandangan yang elok dan mempesona. Semua kemegahan, keindahan, dan kehebatan kota Baghdad yang dibangun pertama kali oleh khalifah Al-Mansur itu sekarang hanya tinggal kenangan. Semuanya seolah-olah hanyut dibawa arus sungai Tigris, setelah kota ini dibumihanguskan oleh tentara Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan tahun 1258 M. Semua bangunan kota, termasuk istana emas itu dihancurkan. Pasukan Mongol itu juga meruntuhkan perpustakaan yang merupakan gudang ilmu dan membakar buku-buku yang terdapat di dalamnya. Pada tahun 1400 M, kota ini diserang pula oleh Timur Lenk, dan tahun 1508 M oleh tentara kerajan Safawi. 

BAB III
KESIMPULAN
Al-Mansur meletakkan dasar-dasar pemerintahan Abbasiyah. Di bawah Abbasiyah, kekhalifahan berkembang sebagai system politik. Dinasti ini muncul dengan bantuan orang-orang Persia yang merasa bosan terhadap bani Umayyah di dalam masalah sosial dan politik diskriminas. Khalifah-khalifah Abbasiyah yang memakai gelar”Imam” pemimpin masyarakat muslim untuk menekankan arti keagamaan kekhalifahan. Abbasiyah mencontoh tradisi Umayyah di dalam mengumumkan lebih dari satu putra mahkota raja. Di masa pemerintahannya, Baghdad dibangun menjadi ibu kota Dinasti Abbasiyah dan merupakan pusat perdagangan serta kebudayaan. Hingga Baghdad dianggap sebagai kota terpenting di dunia pada saat itu yang kaya akan ilmu pengetahuan. 

BAB IV
PENUTUP
Setelah masa pemerintahan Al Mansur, kota Baghdad menjadi lebih masyhur lagi karena perannya sebagai pusat perkembangan dan peradaban Islam. Banyak para ilmuwan dari berbagai daerah datang ke kota ini untuk mendalami ilmu pengetahuan yang ingin dituntutnya. Demikianlah makalah yang kami susun. Kami sadar masih banyak segala kekurangan karena keterbatasan yang ada pada kami. Maka dari itu kami menerima segala kritik dan saran yang membangun demi perbaikan makalah ini. 

DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mukti. A. Dkk (Ed), Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jilid I, ( Jakarta : Departemen Agama RI, 2000 )
Hasan, Hasan Ibrahim, Sejarah dan Kebudayaan Islam. ( Yogyakarta : Penerbit Kota Kembang, 1989)
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya , Jilid I ( Jakarta : UI Press, 1985 ) Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II. ( Jakarta : UI Press, 1985 ) Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam. ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008 )